Zoro mengendus parfum yang disemprotkan oleh Sanji. "Hentikan, baunya terlalu kuat."
"Ini masih lebih sedikit dari yang biasa aku pakai," kata Sanji.
"Apa kerah ini tidak bisa direnggangkan? Aku sesak."
"Hei, hei. Jangan ditarik dasinya! Rapilah sedikit." Sanji membenarkan kembali dasi Zoro.
"Kamu tidak risih?"
"Hah? Aku sudah biasa memakainya."
Bukan, Zoro membatin. Ia tidak suka posisi ini. Apalagi melihat bahwa akhir-akhir ini Nami sering mengikatkan dasi Sanji, Tindakanmu itu seperti seorang istri saja. Aku yang risih tahu! Kenapa tidak kau ajarkan saja aku cara melipat dasi?
"Apaan sih?" tanya Sanji merasa diperhatikan.
Zoro memalingkan muka. Kenapa aku malah membayangkan yang tidak-tidak? Apa aku segugup ini?
"Oya, jangan lupa ini." Sanji membawakan seikat bunga. "Robin-chan suka bunga. Jangan bilang kau sering memperhatikannya tapi tak tahu hal ini."
"Tentu saja aku tahu."
"Lantas kenapa tadi siang bisa lupa?"
"Sudah kubilang aku bukan pria romantis sepertimu. Ini tidak terpikirkan."
"Sesekali tidak apa-apa kan? Setelah ini kau boleh kembali kumal."
"Siapa yang kumal?"
Sanji tertawa, "Sudahlah, Marimo. Aku tak ingin bertengkar lagi. Sudah sejauh ini, nanti semua berantakan."
"Aku tidak mengajakmu bertengkar."
"Yeah, selesai. Jangan kau bongkar lagi!" Sanji pun membalikkan badannya. Dandanan Zoro telah rapi. Ia hendak keluar. "Nanti tunggu isyarat Franky dan Brook, oke? Nami membawa Baby Denden Mushi di dadanya, sebentar lagi ia akan menghubungi kita untuk menanyakan kesiapan. Aku harus segera ke dapur, menyiapkan hidangan spesial untuk kalian."
"Alis Pelintir..," panggil Zoro.
"Hm?" tanya Sanji menoleh.
"Kenapa kau mau melakukan semua ini?"
"Tentu saja untuk kebahagiaan wanita yang kau pilih, bodoh! Kau pikir ini untukmu? Dengar, aku masih tak tahu apa benar Robin-chan cinta kau. Aku bahkan sangsi, apa sih yang ia lihat dari kamu? Robin-chan begitu anggun, feminim, dewasa. Dan, lihat dirimu! Aku tak tahan melihatmu mengenaskan di matanya, sungguh," Sanji mengulum rokoknya sejenak dan menghembuskan asapnya. Ia tak bermaksud memanasi Zoro tapi begitulah pendapatnya atas wanita itu secara pribadi dan ia mengaguminya, memujanya, mendambakannya. Ia tak rela menyerahkan Robin ke pria sembarangan. Namun, ia kenal Zoro melebihi siapa pun dan Nami telah memenuhi benaknya kini. "Aku telah memilih yang terbaik untukku. Kupikir sekarang giliranmu. Dan, tolong jangan kecewakan dia."
"Kau bahkan masih mengkhawatirkan itu?"
"Tergantung dirimu," kata Sanji mengangkat bahu. "Aku sih ingin percaya padamu. Hanya ini yang bisa kulakukan."
Zoro pun tersenyum sinis.
Sanji membalas senyumannya. "Sudah ya?" katanya menutup pintu.
Zoro mendecakkan lidah. Ia sudah tahu bahwa susah untuk mengatakannya. Sama seperti Sanji barusan. Tapi ia mengerti dari ekspresi dan nada bicara rival abadinya itu. Bahkan, Sanji pasti tahu jawaban itu tak akan membuatnya sakit hati. Mungkin Sang Koki sudah tak dengar, yang jelas Zoro berbicara lirih. "Hei, terima kasih..."
"Ke mana Nona Navigator?"
"Mungkin ia ke toilet," jawab Hancock sekenanya. Dari tadi ia sengaja mendominasi percakapan agar Robin tak terlalu memperhatikan Nami.
Sekenanya, pikir Robin merasakannya. Nami bukan orang yang suka jalan-jalan sendiri tidak seperti dirinya. Nami bukan tipe yang suka menghilang tiba-tiba. Jika ada yang hilang di antara bertiga saat ini, itu seharusnya dirinya. "Apa ia kembali ke kapal?"
"Ia tidak bilang apa-apa tadi. Nanti pasti kembali sendiri."
"Kuharap ia memang kembali ke kapal. Jika tidak, kita harus bilang apa pada Tuan Koki? Orang itu mencemaskan Nami lebih dari apa pun, mungkin kau tak tahu."
"Kau mengatakan sesuatu yang membuatku iri lagi."
"Kenapa lagi-lagi harus kau yang iri?"
"Ya, aku mencintai Luffy apa adanya tapi kadang kau tahu kan kalau wanita ingin diperhatikan lebih."
"Aku sangat mengerti."
Orang itu, pikir Robin. Apa ia pernah terlihat mencemaskanku? Mungkin tidak karena ia selalu melihatku sebagai wanita yang mandiri dan kuat. Aku juga tidak. Aku hanya mencemaskannya jika ia kehilangan arah. Tapi, Hancock benar. Robin tak pernah terlalu memikirkannya sampai ia sadar bahwa ia tetap membutuhkan perhatiannya. Zoro terlalu dingin. Hanya dengan pandangan mata, cukup dibalas dengan senyuman, untuk memastikan semua baik-baik saja daripada cercaran pertanyaan yang kadang berlebihan seperti yang Sanji lakukan dan baru akan berhenti jika ia telah meyakinkannya. Kecuali memang Zoro menemukan sesuatu yang sungguh tidak beres pada dirinya. Robin mendesah. Benarkah ia tak mengharapkan apa pun dari Zoro? Luffy masih lebih baik, jauh lebih baik, meski ia juga tetap memiliki kekurangan tersendiri yang tidak cocok dengan Robin. Hancock seharusnya puas dan bersyukur.
Tak lama kemudian...
"Kamu dari mana, Nami?" tanya Robin.
"Maaf, Robin. Tadi aku berhenti sebentar di toko emas."
"Kurasa tadi kita tak melewatinya."
"Mataku bisa merasakannya di belokan tadi, jadi aku spontan berjalan ke arah sana."
"Lalu, kau membeli sesuatu?"
"Menukar uangku dengan perhiasan emas? Rasanya sayang hahaha... Lebih baik Sanji-kun yang membelikannya untukku. Di kota Nanohana-Arabasta, ia hanya membelikan imitasi."
Nami tadi memang menghilang di sudut gang, tapi untuk menelepon Franky di Sunny. Ia tidak bisa menyuruh Franky yang terlebih dahulu meneleponnya karena Denden Mushi-nya akan bunyi dan Robin bisa curiga jika Nami berlari menjauh untuk mengangkat telepon sebentar seolah masih ada rahasia di antara mereka. Kali ini ia harus mengajak Robin pulang karena persiapan sudah selesai. Di dermaga, semua lampu Sunny sudah dimatikan. Robin seperti tak bisa melihat. Ia melangkah perlahan karena gelap dan akhirnya menjejakkan kaki di dek rumput. Tapi...
"Nami? Hancock?"
Bukannya tadi mereka di dekatnya? Ini mencurigakan, pikir Robin. Akan ada sesuatu yang datang. Robin pun bersiaga. Tapi apa? Kali ini ia sungguh tak bisa menebak. Tidak ada hawa musuh. Lagipula, siapa pula yang ingin mencari masalah dengan Bajak Laut Topi Jerami usai penemuan One Piece yang melambungkan nama mereka? Lantas, mengapa semua menghilang? Apa ini puncak keanehan yang sudah kurasakan sejak siang tadi?
Keheningan itu pecah oleh masuknya alunan biola. Robin merasa familiar dengan lagu itu meski hanya mendengarnya dua kali. Itu bukan lagu yang sering dimainkan Brook. Itu bukan lagu favorit Luffy yang sering ia minta. Itu lagu saat Luffy mengumumkan pada semua bahwa ia telah memperistri Hancock. Itu lagu saat Sanji mendadak menghentikan kebisingan pesta dengan sebuah kalimat sakral yang ia lontarkan ke Nami. Lalu untuk siapa lagu ini dimainkan kembali?
PYATS!
Kali ini sebuah sinar ungu yang berasal dari lampu sorot memperlihatkan sebuah meja bundar dengan dua kursi berhadapan. Sinar itu tentu saja menuntun Robin untuk berjalan ke arah meja itu dan duduk. Apa Franky barusan memodifikasi kapalnya? Apa yang sebenarnya Tuan Koki maksud dengan beres-beres kapal? Selagi masih berpikir, Robin melihat sorotan lampu lain yang berwarna hijau di seberangnya. Kemudian, samar-samar muncul sepasang kaki. Sorot sinar hijau itu terus terangkat perlahan –kakinya, pahanya, pinggangnya, dadanya, wajah-
"Tuan Pendekar?"
Robin melihat Zoro dengan gaya yang tidak biasanya. Itu bukan kaos putih ketat yang agak lusuh dengan haramaki-nya. Itu juga bukan kemeja lengan pendek dengan seluruh kancing terbuka yang memamerkan bentuk tubuh berototnya. Itu setelan jas berwarna hitam –beda dengan milik Sanji—dengan kerah yang lebih melebar dan dua kancing di perut. Di dalamnya, ia mengenakan kemeja warna putih dengan dasi biru garis-garis putih yang tersimpul rapi. Lengan kirinya mengapit seikat bunga dan tangan kanannya tampak menggenggam sebuah kotak kecil. Setelah ini, Robin akhirnya sadar apa yang sedang terjadi. Ia cukup tahu seperti apa watak Zoro dan ini jelas di luar bayangannya. Apa yang ada di hadapannya itu orang lain atau sungguhan Zoro? Jantungnya pun mulai berdegup saat Zoro sedikit demi sedikit mendekat dan kedua warna lampu sorot itu akhirnya menyatu dalam satu lingkaran, ia bisa merasakan aroma parfumnya.
Zoro lalu menyerahkan buket bunga itu kepada Robin. Robin berusaha menahan diri. Ia menerima pemberian Zoro dengan masih berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Ia pun mendekap bunga itu, mencoba merasakan wangi dan maknanya. Robin tahu Zoro tak menyukai bunga tapi rela membawakan untuknya pasti ada maksud khusus. Saat itu, Zoro melanjutkan prosesinya. Kali ini ia menekuk lututnya, membuka kotak mungil itu, dan menyodorkannya pada Robin untuk memperlihatkan isinya. Robin sudah bisa menebak apa isinya. Ia hanya masih tak percaya dengan semua ini. Sungguh-sungguh belum bisa percaya. Tapi, wanita mana yang tak senang dengan ini?
Waktu serasa berjalan lambat. Di sudut lain, para kru Topi Jerami mengintip mereka dengan tidak sabar. Ussop menyetel lampu dari menara pengawas dan ia bisa melihat situasinya dengan jelas meski agak jauh dari pandangan. Sosok Brook ada di dekat dua sejoli itu tapi ia tak kelihatan karena tak disorot. Sanji, Luffy, Chopper, dan Franky melihatnya dari balik pintu ruang makan. Nami dan Hancock ikut bergabung di dekat kedua kekasih masing-masing.
"Cepat katakan, Marimo," bisik Sanji paling geregetan.
"Orang itu malah ngapain sih?" bisik Nami tak kalah geregetan.
"Zoro, kami mendukungmu," bisik Luffy.
"Oh, romantis sekali," bisik Hancock iri.
"Kau pasti bisa," bisik Chopper.
"Berjuanglah, bro," bisik Franky.
"Beranikan dirimu," kata Ussop.
Brook tak bersuara. Ia hanya membatin betapa senang dirinya bisa memainkan lagu ini kembali.
Zoro merasakan semua mata mengawasinya. Itulah yang membuatnya gugup. Ia bisa melihat keterkejutan besar di mata Robin. Tampaknya, Robin pun tahu bahwa ini bukan gayanya. Kalau bukan karena isi hatinya terbongkar, kalau bukan karena "paksaan" semua orang untuk mengikuti ide Sanji, Zoro sudah punya rencana lain. Bukan rencana sih, tapi mungkin spontanitas. Ia membutuhkan ketenangan, moment di saat Robin hanya sendirian atau fokus ke semua orang tanpa menyadari bahwa Zoro mendekatinya, lalu tiba-tiba menyergapnya dari belakang, merangkul lehernya, menyibakkan rambut yang menutupi telinganya, dan membisikkan kalimat itu. Dilihat dari sifat Robin, Zoro sudah bisa membayangkan Robin akan menjawabnya pelan dan balas membisikinya lembut dan meninggalkan senyum nakal nan misterius. Meski lamaran itu di tengah keceriaan semuanya, Ia tak ingin ada yang menyadari bahwa mereka berdua tengah menikmati dunianya sendiri. Hanya mereka berdua yang berhak tahu. Bukan yang seperti ini!
Sayangnya, ia sadar bahwa ia tak bisa mundur lagi. Zoro bermaksud menikmati suasana dan berusaha mengenyahkan pikiran bahwa teman-temannya itu tengah tertawa meledek di belakangnya. Ia sudah membulatkan tekad.
"Ehem..," Zoro menarik pelan pergelangan tangan kiri Robin dan ia memasangkan cincin di jari manisnya. "Maukah kau menjadi istriku untuk selamanya, Robin?"
Su-Sudah kukatakan, teriak Zoro dalam hatinya. Ia lantas menundudukkan wajahnya, mentupinya dengan salah satu telapak tangan. Sesungguhnya ia tak berani menatap Robin seperti itu. Ia tak bisa menyembunyikan muka merahnya. Ini tidak seperti jika sedang berhadapan dengan musuh di mana Zoro berprinsip tak akan membelakanginya. Ia lebih memilih bertemu 1000 musuh dan menghadang semuanya dari depan. Benar kata si Koki Cinta, batin Zoro. Aku pengecut. Kenapa aku malah membayangkan akan melamarnya dari belakang?
Semua menunggu jawaban Robin, termasuk Zoro. Semua sudah menebak bahwa Zoro bakal blushing dan salah tingkah setengah mati. Namun, sampai detik ini, tak ada yang bisa menebak reaksi Robin. Wanita itu selalu memasang Poker Face. Hanya sekali ia terlihat melepaskannya, yaitu saat di Enies Lobby di mana ia menumpahkan segala emosinya dan menangis sejadinya.
Masih dalam duduk, Robin mengangkat wajah Zoro. Ia menunduk dan mendaratkan bibirnya di bibir Zoro. Jawaban langsung. Begitu dalam. Tanpa kata-kata.
Semua pengintip terkejut dan menahan napas. Benar kan? Tidak ada yang bisa menebaknya.
Robin seolah meredamkan kegelisahan Zoro dan mendinginkan muka panasnya. Kalau itu Sanji yang tiba-tiba dicium Nami, baru ia akan blushing setengah mati. Tapi ini kebalik. Zoro memang belum pernah merasakan apa itu ciuman. Justru karena itulah, di tubuhnya serasa menjalar suatu sensasi yang luar biasa. Ia lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Robin, semakin menariknya ke dalam dekapan, menikmati setiap sentuhan lidahnya, dan membalas dengan sensasi yang sama. Rasanya seperti sudah menginginkan dari dulu dan saling memendamnya.
Tak lama kemudian, Robin pun melepaskan ciumannya. "Aku bisa menebak ini ide siapa."
Haha, batin Zoro gusar. Sudah kubilang pada si Alis Pelintir itu kalau ini bukan gayanya. "Tapi, kau suka kan?"
"Tentu saja."
"Syukurlah." Berarti usahaku tidak sia-sia meski serasa dipermalukan di hadapan yang lain, batin Zoro.
"Aku suka melihat wajah merahmu barusan," goda Robin. "Itu akan membuatnya semakin tak terlupakan."
Zoro sweatdropped. Jadi bukan karena segala keromantisan yang sudah dirancang?
"Fufufu..." Robin seolah bisa membaca pikiran Zoro. "Banyak hal. Pertama, baru kali ini aku merasa dikerjai oleh semuanya meskipun sudah mengendus ketidakberesan. Kedua, ini sungguh-sungguh kejutan bisa melihatmu tampil beda untuk moment ini, aku tahu kau pasti berusaha menahannya. Ketiga, tentu saja wajahmu. Aku jadi ingat saat kau mengenakan Mama-Shirt dan menggendong bayi waktu itu."
"Oooh..," kata Zoro melengos. Apa pun itu, setidaknya malam ini tetap berkesan bagi Robin.
"Kau tahu aku sudah lama menantikan hal ini," lanjut Robin. Tiba-tiba air matanya menitik jatuh.
Zoro terkejut. Ia reflek berdiri lalu mengambil sapu tangan yang terselip di saku dada jasnya untuk menyeka air mata Robin. "Maaf, membuatmu menunggu. Aku..."
"Tak apa," potong Robin. Ia tersenyum lembut sambil menggenggam tangan Zoro yang tengah mengusap pipinya. "Ini indah sekali, Zoro..."
Zoro menatap Robin, merasa memahami arti air mata dan panggilan namanya itu. "Ya, kau benar..."
Zoro pun duduk di kursinya sementara Franky mendatangi mereka. Ia menuangkan Bloody Wine 1975-Davy Jones pada gelas sampanye masing-masing. Zoro dan Robin bersulang. Lalu, giliran Chopper dan Luffy yang datang dengan mendorong troli hidangan spesial. Robin bisa melihat bahwa semuanya mengenakan setelan formal (meski bawahan Franky tetap dengan speedo kebanggaannya). Chopper membuka tutup hidangan dan membuat Zoro dan Robin terkesima. Sesuai dengan namanya, Sang Koki memang menghiasnya dengan kalimat "Selamat Menempuh Hidup Baru." Dasar koki aneh, pikir Zoro. Menikah saja belum.
Luffy dan Chopper pun kembali ke dapur, meninggalkan Zoro dan Robin menikmati waktu mereka. Mereka mulai membicarakan hal-hal yang romantis. Mengenang masa mereka pertama kali bertemu di Whiskey Peak, soal Baroque Work, sampai kemunculan Robin yang ingin bergabung. Zoro yang dulu bersikeras tak mempercayainya. Kebersamaan mereka di Jaya dan Skypea. Kejadian-kejadian yang diketahui Robin seperti soal mengasuh bayi dan pengorbanan Zoro di Thriller Bark. Mereka yang sering bertemu pandang di kapal, dan lain-lainnya.
Ussop tetap menyalakan lampu dan Brook tetap memainkan biolanya. Sementara itu...
"Hei, apa-apaan sih kau?" seru Nami saat Sanji tiba-tiba memeluknya dari belakang,
"Minta cium juga dong...," kata Sanji cengengesan.
"Dasar... Nih!" Nami menyanggupinya. Kecupan singkat namun sudah membuat Sanji meleleh.
"Aww. Mellorine!"
Hancock tak mau kalah. Ia pun menggeret lengan Luffy. "Ayo, kita ke kamar!"
"Eh? Sekarang? Tapi kita belum makan malam."
"Bawa saja makanannya."
"Asyik! Kali ini kau mau mengajariku gaya apa, Hammock?"
Lihat, kau tak lagi sendirian kan? Robin tiba-tiba terngiang-ngiang kalimat itu. Saat di mana ia masih harus mencari tempat bernaung dan sahabat yang benar-benar bisa menerimanya, ia selalu ingat ucapan Sauro. Ia sadar bahwa sebentar lagi ia akan kehilangan sosok mereka dari dekat meski persahabatan mereka akan terus terjalin. Dalam hati, ia sebenarnya tak ingin sendirian kembali meski tak pernah takut untuk menghadapinya, karena itulah ia berkata apa adanya pada Nami waktu itu. Dan, ia memang menunggu perasaannya terbalaskan. Ya, menunggu moment itu akan hadir begitu nyata. Mungkin hanya ia wanita yang bisa sabar dengan sikap dingin Zoro –dan buta arah parahnya. Ia tahu hal itu akan segera tiba. Selamanya, ia tak akan sendirian untuk yang kedua kali.
Malam itu, bintang-bintang tengah menyaksikan mereka.
Baca Selanjutnya.. - kisah cinta zorro dan robin
"Ini masih lebih sedikit dari yang biasa aku pakai," kata Sanji.
"Apa kerah ini tidak bisa direnggangkan? Aku sesak."
"Hei, hei. Jangan ditarik dasinya! Rapilah sedikit." Sanji membenarkan kembali dasi Zoro.
"Kamu tidak risih?"
"Hah? Aku sudah biasa memakainya."
Bukan, Zoro membatin. Ia tidak suka posisi ini. Apalagi melihat bahwa akhir-akhir ini Nami sering mengikatkan dasi Sanji, Tindakanmu itu seperti seorang istri saja. Aku yang risih tahu! Kenapa tidak kau ajarkan saja aku cara melipat dasi?
"Apaan sih?" tanya Sanji merasa diperhatikan.
Zoro memalingkan muka. Kenapa aku malah membayangkan yang tidak-tidak? Apa aku segugup ini?
"Oya, jangan lupa ini." Sanji membawakan seikat bunga. "Robin-chan suka bunga. Jangan bilang kau sering memperhatikannya tapi tak tahu hal ini."
"Tentu saja aku tahu."
"Lantas kenapa tadi siang bisa lupa?"
"Sudah kubilang aku bukan pria romantis sepertimu. Ini tidak terpikirkan."
"Sesekali tidak apa-apa kan? Setelah ini kau boleh kembali kumal."
"Siapa yang kumal?"
Sanji tertawa, "Sudahlah, Marimo. Aku tak ingin bertengkar lagi. Sudah sejauh ini, nanti semua berantakan."
"Aku tidak mengajakmu bertengkar."
"Yeah, selesai. Jangan kau bongkar lagi!" Sanji pun membalikkan badannya. Dandanan Zoro telah rapi. Ia hendak keluar. "Nanti tunggu isyarat Franky dan Brook, oke? Nami membawa Baby Denden Mushi di dadanya, sebentar lagi ia akan menghubungi kita untuk menanyakan kesiapan. Aku harus segera ke dapur, menyiapkan hidangan spesial untuk kalian."
"Alis Pelintir..," panggil Zoro.
"Hm?" tanya Sanji menoleh.
"Kenapa kau mau melakukan semua ini?"
"Tentu saja untuk kebahagiaan wanita yang kau pilih, bodoh! Kau pikir ini untukmu? Dengar, aku masih tak tahu apa benar Robin-chan cinta kau. Aku bahkan sangsi, apa sih yang ia lihat dari kamu? Robin-chan begitu anggun, feminim, dewasa. Dan, lihat dirimu! Aku tak tahan melihatmu mengenaskan di matanya, sungguh," Sanji mengulum rokoknya sejenak dan menghembuskan asapnya. Ia tak bermaksud memanasi Zoro tapi begitulah pendapatnya atas wanita itu secara pribadi dan ia mengaguminya, memujanya, mendambakannya. Ia tak rela menyerahkan Robin ke pria sembarangan. Namun, ia kenal Zoro melebihi siapa pun dan Nami telah memenuhi benaknya kini. "Aku telah memilih yang terbaik untukku. Kupikir sekarang giliranmu. Dan, tolong jangan kecewakan dia."
"Kau bahkan masih mengkhawatirkan itu?"
"Tergantung dirimu," kata Sanji mengangkat bahu. "Aku sih ingin percaya padamu. Hanya ini yang bisa kulakukan."
Zoro pun tersenyum sinis.
Sanji membalas senyumannya. "Sudah ya?" katanya menutup pintu.
Zoro mendecakkan lidah. Ia sudah tahu bahwa susah untuk mengatakannya. Sama seperti Sanji barusan. Tapi ia mengerti dari ekspresi dan nada bicara rival abadinya itu. Bahkan, Sanji pasti tahu jawaban itu tak akan membuatnya sakit hati. Mungkin Sang Koki sudah tak dengar, yang jelas Zoro berbicara lirih. "Hei, terima kasih..."
"Ke mana Nona Navigator?"
"Mungkin ia ke toilet," jawab Hancock sekenanya. Dari tadi ia sengaja mendominasi percakapan agar Robin tak terlalu memperhatikan Nami.
Sekenanya, pikir Robin merasakannya. Nami bukan orang yang suka jalan-jalan sendiri tidak seperti dirinya. Nami bukan tipe yang suka menghilang tiba-tiba. Jika ada yang hilang di antara bertiga saat ini, itu seharusnya dirinya. "Apa ia kembali ke kapal?"
"Ia tidak bilang apa-apa tadi. Nanti pasti kembali sendiri."
"Kuharap ia memang kembali ke kapal. Jika tidak, kita harus bilang apa pada Tuan Koki? Orang itu mencemaskan Nami lebih dari apa pun, mungkin kau tak tahu."
"Kau mengatakan sesuatu yang membuatku iri lagi."
"Kenapa lagi-lagi harus kau yang iri?"
"Ya, aku mencintai Luffy apa adanya tapi kadang kau tahu kan kalau wanita ingin diperhatikan lebih."
"Aku sangat mengerti."
Orang itu, pikir Robin. Apa ia pernah terlihat mencemaskanku? Mungkin tidak karena ia selalu melihatku sebagai wanita yang mandiri dan kuat. Aku juga tidak. Aku hanya mencemaskannya jika ia kehilangan arah. Tapi, Hancock benar. Robin tak pernah terlalu memikirkannya sampai ia sadar bahwa ia tetap membutuhkan perhatiannya. Zoro terlalu dingin. Hanya dengan pandangan mata, cukup dibalas dengan senyuman, untuk memastikan semua baik-baik saja daripada cercaran pertanyaan yang kadang berlebihan seperti yang Sanji lakukan dan baru akan berhenti jika ia telah meyakinkannya. Kecuali memang Zoro menemukan sesuatu yang sungguh tidak beres pada dirinya. Robin mendesah. Benarkah ia tak mengharapkan apa pun dari Zoro? Luffy masih lebih baik, jauh lebih baik, meski ia juga tetap memiliki kekurangan tersendiri yang tidak cocok dengan Robin. Hancock seharusnya puas dan bersyukur.
Tak lama kemudian...
"Kamu dari mana, Nami?" tanya Robin.
"Maaf, Robin. Tadi aku berhenti sebentar di toko emas."
"Kurasa tadi kita tak melewatinya."
"Mataku bisa merasakannya di belokan tadi, jadi aku spontan berjalan ke arah sana."
"Lalu, kau membeli sesuatu?"
"Menukar uangku dengan perhiasan emas? Rasanya sayang hahaha... Lebih baik Sanji-kun yang membelikannya untukku. Di kota Nanohana-Arabasta, ia hanya membelikan imitasi."
Nami tadi memang menghilang di sudut gang, tapi untuk menelepon Franky di Sunny. Ia tidak bisa menyuruh Franky yang terlebih dahulu meneleponnya karena Denden Mushi-nya akan bunyi dan Robin bisa curiga jika Nami berlari menjauh untuk mengangkat telepon sebentar seolah masih ada rahasia di antara mereka. Kali ini ia harus mengajak Robin pulang karena persiapan sudah selesai. Di dermaga, semua lampu Sunny sudah dimatikan. Robin seperti tak bisa melihat. Ia melangkah perlahan karena gelap dan akhirnya menjejakkan kaki di dek rumput. Tapi...
"Nami? Hancock?"
Bukannya tadi mereka di dekatnya? Ini mencurigakan, pikir Robin. Akan ada sesuatu yang datang. Robin pun bersiaga. Tapi apa? Kali ini ia sungguh tak bisa menebak. Tidak ada hawa musuh. Lagipula, siapa pula yang ingin mencari masalah dengan Bajak Laut Topi Jerami usai penemuan One Piece yang melambungkan nama mereka? Lantas, mengapa semua menghilang? Apa ini puncak keanehan yang sudah kurasakan sejak siang tadi?
Keheningan itu pecah oleh masuknya alunan biola. Robin merasa familiar dengan lagu itu meski hanya mendengarnya dua kali. Itu bukan lagu yang sering dimainkan Brook. Itu bukan lagu favorit Luffy yang sering ia minta. Itu lagu saat Luffy mengumumkan pada semua bahwa ia telah memperistri Hancock. Itu lagu saat Sanji mendadak menghentikan kebisingan pesta dengan sebuah kalimat sakral yang ia lontarkan ke Nami. Lalu untuk siapa lagu ini dimainkan kembali?
PYATS!
Kali ini sebuah sinar ungu yang berasal dari lampu sorot memperlihatkan sebuah meja bundar dengan dua kursi berhadapan. Sinar itu tentu saja menuntun Robin untuk berjalan ke arah meja itu dan duduk. Apa Franky barusan memodifikasi kapalnya? Apa yang sebenarnya Tuan Koki maksud dengan beres-beres kapal? Selagi masih berpikir, Robin melihat sorotan lampu lain yang berwarna hijau di seberangnya. Kemudian, samar-samar muncul sepasang kaki. Sorot sinar hijau itu terus terangkat perlahan –kakinya, pahanya, pinggangnya, dadanya, wajah-
"Tuan Pendekar?"
Robin melihat Zoro dengan gaya yang tidak biasanya. Itu bukan kaos putih ketat yang agak lusuh dengan haramaki-nya. Itu juga bukan kemeja lengan pendek dengan seluruh kancing terbuka yang memamerkan bentuk tubuh berototnya. Itu setelan jas berwarna hitam –beda dengan milik Sanji—dengan kerah yang lebih melebar dan dua kancing di perut. Di dalamnya, ia mengenakan kemeja warna putih dengan dasi biru garis-garis putih yang tersimpul rapi. Lengan kirinya mengapit seikat bunga dan tangan kanannya tampak menggenggam sebuah kotak kecil. Setelah ini, Robin akhirnya sadar apa yang sedang terjadi. Ia cukup tahu seperti apa watak Zoro dan ini jelas di luar bayangannya. Apa yang ada di hadapannya itu orang lain atau sungguhan Zoro? Jantungnya pun mulai berdegup saat Zoro sedikit demi sedikit mendekat dan kedua warna lampu sorot itu akhirnya menyatu dalam satu lingkaran, ia bisa merasakan aroma parfumnya.
Zoro lalu menyerahkan buket bunga itu kepada Robin. Robin berusaha menahan diri. Ia menerima pemberian Zoro dengan masih berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Ia pun mendekap bunga itu, mencoba merasakan wangi dan maknanya. Robin tahu Zoro tak menyukai bunga tapi rela membawakan untuknya pasti ada maksud khusus. Saat itu, Zoro melanjutkan prosesinya. Kali ini ia menekuk lututnya, membuka kotak mungil itu, dan menyodorkannya pada Robin untuk memperlihatkan isinya. Robin sudah bisa menebak apa isinya. Ia hanya masih tak percaya dengan semua ini. Sungguh-sungguh belum bisa percaya. Tapi, wanita mana yang tak senang dengan ini?
Waktu serasa berjalan lambat. Di sudut lain, para kru Topi Jerami mengintip mereka dengan tidak sabar. Ussop menyetel lampu dari menara pengawas dan ia bisa melihat situasinya dengan jelas meski agak jauh dari pandangan. Sosok Brook ada di dekat dua sejoli itu tapi ia tak kelihatan karena tak disorot. Sanji, Luffy, Chopper, dan Franky melihatnya dari balik pintu ruang makan. Nami dan Hancock ikut bergabung di dekat kedua kekasih masing-masing.
"Cepat katakan, Marimo," bisik Sanji paling geregetan.
"Orang itu malah ngapain sih?" bisik Nami tak kalah geregetan.
"Zoro, kami mendukungmu," bisik Luffy.
"Oh, romantis sekali," bisik Hancock iri.
"Kau pasti bisa," bisik Chopper.
"Berjuanglah, bro," bisik Franky.
"Beranikan dirimu," kata Ussop.
Brook tak bersuara. Ia hanya membatin betapa senang dirinya bisa memainkan lagu ini kembali.
Zoro merasakan semua mata mengawasinya. Itulah yang membuatnya gugup. Ia bisa melihat keterkejutan besar di mata Robin. Tampaknya, Robin pun tahu bahwa ini bukan gayanya. Kalau bukan karena isi hatinya terbongkar, kalau bukan karena "paksaan" semua orang untuk mengikuti ide Sanji, Zoro sudah punya rencana lain. Bukan rencana sih, tapi mungkin spontanitas. Ia membutuhkan ketenangan, moment di saat Robin hanya sendirian atau fokus ke semua orang tanpa menyadari bahwa Zoro mendekatinya, lalu tiba-tiba menyergapnya dari belakang, merangkul lehernya, menyibakkan rambut yang menutupi telinganya, dan membisikkan kalimat itu. Dilihat dari sifat Robin, Zoro sudah bisa membayangkan Robin akan menjawabnya pelan dan balas membisikinya lembut dan meninggalkan senyum nakal nan misterius. Meski lamaran itu di tengah keceriaan semuanya, Ia tak ingin ada yang menyadari bahwa mereka berdua tengah menikmati dunianya sendiri. Hanya mereka berdua yang berhak tahu. Bukan yang seperti ini!
Sayangnya, ia sadar bahwa ia tak bisa mundur lagi. Zoro bermaksud menikmati suasana dan berusaha mengenyahkan pikiran bahwa teman-temannya itu tengah tertawa meledek di belakangnya. Ia sudah membulatkan tekad.
"Ehem..," Zoro menarik pelan pergelangan tangan kiri Robin dan ia memasangkan cincin di jari manisnya. "Maukah kau menjadi istriku untuk selamanya, Robin?"
Su-Sudah kukatakan, teriak Zoro dalam hatinya. Ia lantas menundudukkan wajahnya, mentupinya dengan salah satu telapak tangan. Sesungguhnya ia tak berani menatap Robin seperti itu. Ia tak bisa menyembunyikan muka merahnya. Ini tidak seperti jika sedang berhadapan dengan musuh di mana Zoro berprinsip tak akan membelakanginya. Ia lebih memilih bertemu 1000 musuh dan menghadang semuanya dari depan. Benar kata si Koki Cinta, batin Zoro. Aku pengecut. Kenapa aku malah membayangkan akan melamarnya dari belakang?
Semua menunggu jawaban Robin, termasuk Zoro. Semua sudah menebak bahwa Zoro bakal blushing dan salah tingkah setengah mati. Namun, sampai detik ini, tak ada yang bisa menebak reaksi Robin. Wanita itu selalu memasang Poker Face. Hanya sekali ia terlihat melepaskannya, yaitu saat di Enies Lobby di mana ia menumpahkan segala emosinya dan menangis sejadinya.
Masih dalam duduk, Robin mengangkat wajah Zoro. Ia menunduk dan mendaratkan bibirnya di bibir Zoro. Jawaban langsung. Begitu dalam. Tanpa kata-kata.
Semua pengintip terkejut dan menahan napas. Benar kan? Tidak ada yang bisa menebaknya.
Robin seolah meredamkan kegelisahan Zoro dan mendinginkan muka panasnya. Kalau itu Sanji yang tiba-tiba dicium Nami, baru ia akan blushing setengah mati. Tapi ini kebalik. Zoro memang belum pernah merasakan apa itu ciuman. Justru karena itulah, di tubuhnya serasa menjalar suatu sensasi yang luar biasa. Ia lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Robin, semakin menariknya ke dalam dekapan, menikmati setiap sentuhan lidahnya, dan membalas dengan sensasi yang sama. Rasanya seperti sudah menginginkan dari dulu dan saling memendamnya.
Tak lama kemudian, Robin pun melepaskan ciumannya. "Aku bisa menebak ini ide siapa."
Haha, batin Zoro gusar. Sudah kubilang pada si Alis Pelintir itu kalau ini bukan gayanya. "Tapi, kau suka kan?"
"Tentu saja."
"Syukurlah." Berarti usahaku tidak sia-sia meski serasa dipermalukan di hadapan yang lain, batin Zoro.
"Aku suka melihat wajah merahmu barusan," goda Robin. "Itu akan membuatnya semakin tak terlupakan."
Zoro sweatdropped. Jadi bukan karena segala keromantisan yang sudah dirancang?
"Fufufu..." Robin seolah bisa membaca pikiran Zoro. "Banyak hal. Pertama, baru kali ini aku merasa dikerjai oleh semuanya meskipun sudah mengendus ketidakberesan. Kedua, ini sungguh-sungguh kejutan bisa melihatmu tampil beda untuk moment ini, aku tahu kau pasti berusaha menahannya. Ketiga, tentu saja wajahmu. Aku jadi ingat saat kau mengenakan Mama-Shirt dan menggendong bayi waktu itu."
"Oooh..," kata Zoro melengos. Apa pun itu, setidaknya malam ini tetap berkesan bagi Robin.
"Kau tahu aku sudah lama menantikan hal ini," lanjut Robin. Tiba-tiba air matanya menitik jatuh.
Zoro terkejut. Ia reflek berdiri lalu mengambil sapu tangan yang terselip di saku dada jasnya untuk menyeka air mata Robin. "Maaf, membuatmu menunggu. Aku..."
"Tak apa," potong Robin. Ia tersenyum lembut sambil menggenggam tangan Zoro yang tengah mengusap pipinya. "Ini indah sekali, Zoro..."
Zoro menatap Robin, merasa memahami arti air mata dan panggilan namanya itu. "Ya, kau benar..."
Zoro pun duduk di kursinya sementara Franky mendatangi mereka. Ia menuangkan Bloody Wine 1975-Davy Jones pada gelas sampanye masing-masing. Zoro dan Robin bersulang. Lalu, giliran Chopper dan Luffy yang datang dengan mendorong troli hidangan spesial. Robin bisa melihat bahwa semuanya mengenakan setelan formal (meski bawahan Franky tetap dengan speedo kebanggaannya). Chopper membuka tutup hidangan dan membuat Zoro dan Robin terkesima. Sesuai dengan namanya, Sang Koki memang menghiasnya dengan kalimat "Selamat Menempuh Hidup Baru." Dasar koki aneh, pikir Zoro. Menikah saja belum.
Luffy dan Chopper pun kembali ke dapur, meninggalkan Zoro dan Robin menikmati waktu mereka. Mereka mulai membicarakan hal-hal yang romantis. Mengenang masa mereka pertama kali bertemu di Whiskey Peak, soal Baroque Work, sampai kemunculan Robin yang ingin bergabung. Zoro yang dulu bersikeras tak mempercayainya. Kebersamaan mereka di Jaya dan Skypea. Kejadian-kejadian yang diketahui Robin seperti soal mengasuh bayi dan pengorbanan Zoro di Thriller Bark. Mereka yang sering bertemu pandang di kapal, dan lain-lainnya.
Ussop tetap menyalakan lampu dan Brook tetap memainkan biolanya. Sementara itu...
"Hei, apa-apaan sih kau?" seru Nami saat Sanji tiba-tiba memeluknya dari belakang,
"Minta cium juga dong...," kata Sanji cengengesan.
"Dasar... Nih!" Nami menyanggupinya. Kecupan singkat namun sudah membuat Sanji meleleh.
"Aww. Mellorine!"
Hancock tak mau kalah. Ia pun menggeret lengan Luffy. "Ayo, kita ke kamar!"
"Eh? Sekarang? Tapi kita belum makan malam."
"Bawa saja makanannya."
"Asyik! Kali ini kau mau mengajariku gaya apa, Hammock?"
Lihat, kau tak lagi sendirian kan? Robin tiba-tiba terngiang-ngiang kalimat itu. Saat di mana ia masih harus mencari tempat bernaung dan sahabat yang benar-benar bisa menerimanya, ia selalu ingat ucapan Sauro. Ia sadar bahwa sebentar lagi ia akan kehilangan sosok mereka dari dekat meski persahabatan mereka akan terus terjalin. Dalam hati, ia sebenarnya tak ingin sendirian kembali meski tak pernah takut untuk menghadapinya, karena itulah ia berkata apa adanya pada Nami waktu itu. Dan, ia memang menunggu perasaannya terbalaskan. Ya, menunggu moment itu akan hadir begitu nyata. Mungkin hanya ia wanita yang bisa sabar dengan sikap dingin Zoro –dan buta arah parahnya. Ia tahu hal itu akan segera tiba. Selamanya, ia tak akan sendirian untuk yang kedua kali.
Malam itu, bintang-bintang tengah menyaksikan mereka.